Kamis, 06 Juni 2013

dekapan cinta ibu


Kutitipkan cinta dalam hamparan padang rumput nan hijau. Terasa damai dan begitu hangat berdampingan dengan gemerisik air yang mengalir lembut dari pelosok perbukitan. Aku sangat senang bisa tinggal didaerah perbukitan yang tenang ini. Jauh dari kebisingan kendaraan yang lalu lalang. Jauh dari suara kaki kuda liar yang tidak pernah berhenti berpacu. Apalagi hidup bersama keluargaku, bersama anak istriku. Tetapi, akhir-akhir ini aku selalu memikirkan keadaan ibu yang jauh disana.
Malam itu, tanpa sadar air mata mengalir dari pelupuk mataku. Wajah ibu selalu membayangiku. Wajah yang selalu aku sayang dan aku bela ketika sedang bertengkar dengan ayah. Masih teringat waktu itu, ayah dan ibu selalu berselisih hingga akhirnya ayah dan ibu berpisah. Ayah seorang pemabuk berat sedangkan ibu hanya pekerja tukang cuci. Setiap hari selalu aku temui pertengkaran ayah dan ibu. Hingga akhirnya aku tinggal bersama ibuku sejak ayah menikah dengan perempuan lain. Ibu memilih untuk menjanda dan bekerja memenuhi kebutuhan kami hingga aku sudah sukses seperti ini. Sejak dulu, ibu selalu menasehati anak-anaknya untuk menjadi orang yang bertanggung jawab. Didikan ibu selalu aku ingat, bahkan didikan tentang adat istiadat jawa selalu aku patuhi. Ketika aku masih kecil, saat aku sedang bermain bersama teman-temanku dibawah pohon rambutan depan rumahku. Saat itu matahari tengah hari tergelincir, langit berangsur berubah berwarna kuning. Sinar ,menyilaukan berpendar-pendar membiaskan kabut kuning menerpa seisi alam. Ketika cuaca berubah seperti itu, ibu selalu menyuruhku untuk masuk kerumah. Kata ibu itu bisa bertanda penyakit dan musibah. Tapi, ketika aku tanya, ibu selalu menjawabnya dengan nada tinggi.
 ‘’ ada apa mas ?
Suara itu mengagetkanku. Aku membalikkan tubuhku dan melihat istriku sudah berada disampingku. Aku mengusap air mataku dan menceritakan semuanya pada istriku. Istriku meminta untuk segera mengunjungi ibu. Memang, sejak menikah 8 tahun yang lalu, kami tidak pernah mengunjungi ibuku. Mungkin karena aku sibuk dengan segala pekerjaanku. Aku seorang pembisnis yang sukses dipertambangan batu bara. Istriku sebenarnya sudah berulang kali meminta diriku untuk mengunjungi ibu. Tapi aku selalu mengulur waktu untuk mengunjungi ibu.
Langit tiba-tiba saja menjadi kelam dan lembam senja dalam guyuran hujan yang lebat. Kilat sambung menyambung seperti ingin membakar langit. Halilintar bersiul keras memecahkan suasana yang begitu tenang. Angin lebat berkesiur liar kian mendekat. Terlintas dalam benakku jika diriku disambar petir. Tubuh terbakar hangus dalam sekejab mata. Gosong.  Atau air bah datang dan menghanyutkan tubuhku seperti sebatang kayu. Rasa sesal menyeruak dalam dadaku. Betapa bodoh dan tololnya diriku. Betapa durhakanya aku. Seperti cerita malin kundang si durhaka. Begitulah diriku.
Aku mengambil cuti selama satu minggu untuk mengunjungi ibu. Sudah aku janjikan ini pada istriku. Istriku juga ingin bertemu dengan ibuku. Akhirnya aku berangkat kekampungku yang sudah lama aku tinggalkan. Dipertengahan jalan aku membeli beberapa oleh-oleh untuk ibuku. Tidak lupa juga istriku memilih beberapa helai kain yang cocok untuk ibu. Debu yang pekat menyesakkan napas. Sebuah truk pengangkut tanah timbun mengepulkan asap hingga mengalihkan pandanganku saat aku menyopir sedan bewarna metallic itu. Panas terik sepertinya sudah berlangsung lama. Aku sendiri tidak sanggup mengatakannya. Pohon-pohon meranggas. Dedaunan berguguran. Entah sampai kapan pohon-pohon akan berdaun dan berputik. Tanpa sadar kami sudah tiba diperempat jalan.
Malam semakin kelam. Suara jangkrik melonglong lembut. Aku melihat anak-anakku tertidur pulas. Sedangkan aku tetap fokus menyopir mobilku dengan ditemani istriku. Tiba saja ada seekor ular besar melintas didepan mobilku. Aku segera menghentikan kendaraanku.
‘’ada apa mas ?
‘’ada ular lewat ma’’ jawabku senyum melihat wajahnya yang anggun dengan jilbab yang melilit panjang
Setelah ular itu berlalu kami pun segera melanjutkan perjalanan. Cukup lama kami berada dalam perjalanan dan kini hari sudah pagi. Setelah mandi dan salat subuh disebuah musola yang dekat dengan perkampunganku, aku menuju rumah ibu. Nampak rumah tua yang sudah lama dan tidak pernah dibangun. Namun, disekitar rumah tampak asri dengan taman yang begitu indah. Bahkan pohon rambutan yang menjadi tempat main sejak kecil kini masih ada.
Aku memasuki halaman rumah dan memarkirkan kendaraanku disamping pohon rambutan yang sudah tua itu. Melihat ada mobil datang, adikku yang bernama restu segera berteriak memangggil ibu. Aku keluar dari mobil dan menuju kedepan rumah. Saat itu aku memakai jas hitam dengan dasi berleret-leret warna merah. Ibu hanya memperhatikanku. Mungkin dia lupa denganku. Oh, tidak mungkin, pasti ibu masih ingat denganku.
‘’ilham, ini ilham anakku kan ?
Aku menangis. Ternyata ibu masih mengingatku. Oh ibu, mutiara hatiku masih mengenalku. Hati ibu begitu dekat dengaku.
‘’ya bu, ini ilham’’ jawabku sambil menuju ibu yang berdiri didepan pintu
Aku memeluk ibu erat-erat. Sudah lama aku tidak merasakan pelukan ibu. Dekapannya begitu hangat. Kuperhatikan wajahnya yang sudah tua. Gadis tuaku yang tidak pernah aku perhatikan kini mulai keriput. Aku ingin mendekapnya lebih erat. Aku memeluknya kembali tanpa sadar aku juga membawa anak istriku. Aku melepaskan dekapan ibu yang begitu hangat. Dekapan penuh cinta, kasih sayang. Seperti dekapan ibu ketika aku masih kecil. Dekapan ibu saat diriku dimarahi ayah karena tingkahku. Dekapan ibu masih seperti dekapan dulu. tidak pernah berubah dan tetap seperti ini.
‘’ ibu, ini halimah istriku, dan ini anakku Zahra dan chandra’’
‘’ kau sudah menikah ilham, ini cucuku ? halimah, sini nak’’
Ibu mendekap istriku dan anak-anaku dengan hangat. Terobati sudah rasa rindu ibuku kepadaku. Aku melihat kebahagiaan dirona mata ibuku. Bahkan ibuku meminta dasi yang aku pakai untuk disimpannya. Aku memberikannya pada ibuku. Ibu meletakkan dasi yang kupakai dalam sebuah lemari pusaka. Mungkin ibuku cukup senang dengan keberhasilanku. Lengkap sudah kebahagiaan ibu. Semua anaknya sudah berkumpul dan bersama cucu-cucunya. Saat tetangga datang, ibuku menceritakan siapa pemilik dasi itu. Begitulah ibuku hanya bisa menceritakan kesuksesan anaknya, tanpa meminta imbalan kepada anaknya.
‘’Oh ibu, dekapanmu begitu hangat, penuh cinta dan penuh dengan kasih sayang’’ berulang kali aku mengatakan itu dalam hatiku
Ibu, tidak ada yang bisa menggantikan sosok pahlawan sepertimu. Engkau adalah kekasihku yang paling indah dengan sejarah yang panjang. Aku menutup diary kecilku yang lusuh itu. Aku memejamkan mataku, tertidur pulas bersama ibu dan keluargaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar